Cerita Sex || Cerita Mesum ||Cerita Dewasa || Foto Cewek Hot
Terbaru || Foto Bugil Terbaru || Foto Mesum Terbaru || dan Seputar
Dewasa Sex Terbaru 2017
Awan semakin gelap, mendung yang menggantung menandakan sebentar lagi
akan hujan. Pakde Marto menyuruh Surti membenahi ceret air dan rantang
makanannya kemudian mereka bergegas pulang sebelum hujan turun. Surti
adalah istri Iding keponakan Pakde Marto yang sejak kecil ikut
Pakde-nya.
Pakde Marto ini adalah kakak bapaknya yang tidak mempunyai anak
sendiri. Dan sesudah menikah pasangan itu tetap mengikuti Pakde-nya yang
sangat sayang pada keponakannya. Sehari-hari mereka bahu membahu
mencari sesuap nasi membantu Pakde di sawah atau Budenya yang buka
warung kecil-kecilan di rumahnya.
Seperti biasanya menjelang siang Surti mengantarkan makanan dan
minuman Pakde-nya yang kerja di sawah. Hari itu kebetulan Iding pergi ke
kota untuk membeli pupuk dan bibit tanaman.
Rupanya hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan
sawah desa yang sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai
dengan angin yang menggoyang keras dan nyaris
merubuhkan pohon-pohon di
sawah hujan kali ini sungguh luar biasa besarnya. Sebagai petani yang
telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dengan enteng Pakde Marto
membabat daun pisang yang lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna
sedikit mengurangi terpaan air hujan yang jatuh di wajah mereka yang
menghambat pandangan mata.
Sambil memanggul cangkulnya Pakde Marto merangkul bahu Surti
erat-erat agar payung daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka.
Surti merasakan kehangatan tubuh Pakde-nya. Demikian pula Pakde Marto
merasakan kehangatan tubuh Surti yang istri keponakannya itu.
Jalan pematang langsung menjadi licin sehingga mereka berdua tidak
bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka juga bertambah erat karena
Pakde Marto khawatir Surti jatuh dari pematang. Kadang-kadang terjadi
pergantian, satu saat Surti yang memeluki pinggang Pakde-nya. Tiba-tiba
ada
“setan lewat” yang melihat mereka dan langsung menyambar ke duanya.
Saat Pakde Marto memeluk bahu Surti tanpa sengaja beberapa kali
menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tidak mempengaruhi Pakde,
tetapi hawa dingin yang menyertai hujan itu ternyata mendatangkan
gelisah di hatinya. Kegelisahan yang bisa merubah perasaannya. Saat
pertama kali Pakde Marto tanpa sengaja menyentuh payudara istri
keponakannya dia agak kaget, khawatir Surti menganggap dirinya berlaku
tidak sopan.
Tetapi saat yang kedua kali dan kemudian dengan sadar menyentuhnya
kembali untuk yang ketiga kalinya dia tidak melihat adanya reaksi
menolak dari Surti, pikiran Pakde mulai dirasuki “setan lewat” tadi. Dan
pelan-pelan tetapi pasti kontol di balik kolornya mulai menghangat dan
bangun.
Toh rasa ke-imanan Pakde Marto masih berusaha bilang “jangan”
walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mengharapkan
sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yang datang dari Surti.
Demikian pula Surti yang merasakan beberapa kali payudaranya
tersentuh, pada awalnya dia tidak sepenuhnya menyadari. Tetapi saat
tersentuh untuk yang kedua kalinya dia mulai mengingat sentuhan yang
sama yang sering dilakukan oleh suaminya Iding. Biasanya kalau Iding
menyentuh macam itu pasti ada maunya.
Pikiran lugu Surti langsung disambar “setan lewat” lagi. Adakah macam
kemauan suaminya itu juga melanda kemauan Pakde-nya di hari hujan yang
dingin ini? Tetapi sebagaimana Pakde Marto, Surti juga berusaha menepis
pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak mungkin, ah”. Walaupun
dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati kecilnya, akankah
datang sebuah keajaiban yang membuat tangan Pakde-nya menyentuh
payudaranya lagi?
Maka, ketika pelukkan Pakde Marto pada bahu Surti yang semakin
mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar hadir, hal itu
sudah merupakan awal kemenangan sang “setan lewat” tadi.
Demikian pula saat hujan yang semakin deras dan jalan yang semakin
licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan mengganti posisi
pelukan agar tidak jatuh dari pematang, pelukan Surti dari arah punggung
pada pinggang dan dada Pakde-nya mendorong lajunya bisikkan “setan
lewat” tadi. Buah dada Surti yang empuk menempel hangat di punggung dan
tangan halus Surti yang menyentuh perut dan dada, membuat kontol
Pakde-nya benar-benar tidak tahu diri.
Keras mencuat ke depan seperti cengkal kayu yang menonjol pada sarung
anak yang disunat. Untung Surti berada di belakangnya sehingga gangguan
teknis itu tidak terlihat olehnya. Pakde Marto mulai mencari-cari apa
jalan keluarnya?
Demikian pula yang dirasakan Surti saat memeluki Pakde-nya dari
belakang. Tangannya yang ketat memeluk perut dan dada Pakde-nya membuat
buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung Pakde yang
tidak mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pakde-nya pasti akan
menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya.
Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat saat Surti mengingat
bagaimana Iding suaminya sering menggosokkan wajahnya ke payudaranya.
Mudah-mudahan Pakde-nya tidak keberatan dengan pelukannya, demikian
pikiran lugu Surti.
Kemudian sang “setan lewat” kembali membisikkan ke dalam pikirannya,
mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan hujannya semakin menderas,
yang disusul dengan seringai gigi taringnya karena gembira melihat
usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang tinggal
menggiring Pakde dan keponakkan mantunya ini menuju ke ke sentuhan
setannya yang terakhir.
Hujan yang demikian hebat ini membuat jam 2 siang hari bolong itu
gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih memenuhi langit. Dan
lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar. Pikiran Pakde
Marto dan Surti sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pakde Marto
tidak kehilangan arah.
Dia tahu persis kini berada di petak sawah milik Sarmin tetangganya.
Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai dangau untuk
berteduh. Dan benar, begitu Pakde Marto yang dalam pelukan Surti belok
kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya.
Mereka berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit
reda.
Surti bisa menurunkan beban gendongannya ke amben bambu yang ada di
situ. Kini mereka saling memandang. Surti memandang kaos oblong
Pakde-nya yang basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan bayangan
dadanya yang gempal berotot.
Sementara Pakde Marto melihat kebaya dan kain di tubuh Surti yang
istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan tubuhnya yang sintal
dengan payudaranya yang menggembung ke depan. Dengan setengah mati
Pakde Marto berusaha menyembunyikan tonjolan kontolnya pada celana
kolornya.
Pakde Marto memperkirakan jarak dangau itu ke dusunnya kira-kira
“se-udut”-an, sebuah perhitungan yang biasa dipakai orang desa mengenai
jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yang dinyalakan
(dihisap).
Mungkin sekitar 6 s/d 8 menit orang jalan kaki. Sementara itu tak
bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam keadaan hujan macam
begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tidak lebih dari 5 meter,
selebihnya kabut hujan yang menyelimuti seluruh hamparan sawah itu.
Dalam usaha menghindar percikan hujan di dangau Pakde Marto dan Surti
harus duduk meringkuk ketengah amben yang relatip sangat sempit yang
tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben sehingga mau
tidak mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang “setan lewat”
kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.
Surti yang ditimpa hujan dan hawa dingin menggigil. Demikian juga
Pakde Marto. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri keponakannya Pakde
meraih pundak Surti dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan untuk
menghormati maksud baik Pakde-nya Surti menyenderkan kepalanya pada
dadanya.
Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi saat tubuh-tubuh mereka
nempel kehangatan itu terjadi juga. Dan pelukan yang ini sudah berbeda
dengan pelukan saat awal Pakde Marto membagi payung daun pisangnya tadi.
Pelukan yang sekarang ini sudah terkontaminasi secara akumulatip oleh
campur tangan sang “setan lewat” tadi.
Saat kepala Surti terasa pasrah bersender pada dada, jantung Pakde
Marto langsung tidak berjalan normal. Dan tonjolan di celananya membuat
susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Surti. Saat Pakde-nya
meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia merasakan
seakan Iding yang meraihnya.
Dengan wajahnya yang mendongak pasrah menatap ke wajah Pakde-nya
Surti semakin menggigil hingga kedengaran giginya yang gemelutuk beradu.
Dan inilah saatnya “sang setan” lewat melemparkan bisikan racunnya yang
terakhir kepada Pakde Marto.
“Ambil!, Ambil!, Ambil!, Ambil!”, dan Pakde tahu persis maksudnya.
Seperti bunga layu yang jatuh dari tangkainya, wajah Pakde Marto
langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir Surti yang istri
keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan manusia itu,
membuat seluruh rasa dingin dari baju yang basah dan tiupan angin
menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pakde Marto
maupun persada Surti.
Mereka kini saling melumat. Sang “setan lewat” cepat berlalu untuk
menghadap atasannya dengan laporan bahwa otomatisasi setannya sudah
ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada korbannya.
Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan.
Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar. Kini lidah dan bibir mereka
saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan bukan hanya sebatas
bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan menghujan ke segala
arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi. Surti
menggeliatkan tubuhnya minta agar Pakde-nya cepat merangkulnya. Pakde
Marto sendiri langsung memeluki dada Surti.
Wajahnya merangsek buah dadanya. Dikenyotnya baju basah penutup buah
dadanya. Surti langsung mengerang keras-keras mengalahkan suara hujan.
Kaki-kakinya menginjak tepian amben sebagai tumpuan untuk
mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk Pakde-nya bahwa dia
sudah menunggu tindak lanjut operasi cepat Pakde-nya.
Pakde Marto memang mau segalanya berjalan cepat. Waktu mereka tidak
banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan reda. Dan operasi ini
tidak memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Surti cukup dia
singkap dengan tangannya hingga ke pinggang. Nonok Surti yang
menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yang lembut
tipis.
Kelentitnya nampak ngaceng mengeras menunggu lumatan lidahnya. Tak
ada yang ditunggu, wajah Pakde Marto langsung merangsek ke kemaluan
ranum itu. Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap seluruh perangkat
kemaluan itu. Tangan Surti menangkap kepala Pakdenya, menekannya agar
lumatan dan jilatan Pakde-nya lebih meruyak masuk ke dalam vaginanya.
Cairan birahi yang asin hangat bercampur dengan air hujan dia sedot
dan telan untuk membasahi kerongkongannya yang kering kehausan. Itil
Surti dia lumat dan gigit dengan sepenuh gemasnya. Tekanan Surti pada
kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Surti terus
naik-naik menjemput bibir dan lidah Pakde-nya. Tetapi Pakde Marto tidak
akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sudah dimulai.
Kini Pakde Marto yang sudah meninggalkan celana kolornya di
rerumputan pematang merangkak ke atas dan memeluki tubuh basah hujan
Surti. Kontolnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Surti yang hangat
langsung menjepit tubuh Pakde-nya dengan nonoknya yang tepat terarah ke
ujung kontol Pakde Marto. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua,
baik yang senior maupun yang yunior sudah terampil dengan sendirinya.
Ujung kontol Pakde Marto sudah tepat berada di lubang vagina istri
keponakannya. Mereka telah siap melakukan manuver akhir sambil menunggu
hujan reda. Dan saat mereka saling dorong, kemaluan Pakde Marto langsung
amblas ditelan vagina Surti. Sambil bibir-bibir mereka saling melumat,
Pakde Sastro mengayun dan Surti menggoyang.
Kontol dan vagina Surti bertemu dalam kehangatan seksual birahi ruang
luar, ditengah derasnya hujan, tiupan angin dan kilat serta petir yang
menyambar-nyambar dengan disaksikan oleh segenap dangau yang lengkap
dengan berisik ambennya, oleh belalang yang ikut berteduh di atapnya,
oleh kodok yang bersuka ria menyambut hujan, oleh wereng yang berlindung
di daunan padi yang sedang menguning, oleh baju-baju mereka yang basah
dan lengket di badan.
Pakde Marto mempercepat ayunan kontolnya pada lubang kemaluan Surti.
Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat yang sangat dahsyat
atas penetrasi kontolnya pada lubang vagina Surti yang serasa perawan
itu, dia tetap “concern” dengan waktu. Surti yang menikmati legitnya
kontol Pakde-nya menggelinjang dengan hebatnya.
Dia juga ingin selekasnya meraih orgasmenya. Genjotan kontol
Pakde-nya yang semakin cepat pada kemaluannya mempercepat dorongan untuk
orgasmenya. Kini dia merasakan segalanya telah siap berada di ujung
perjalanan. Dan dengan jambakan tangannya pada rambut Pakde Marto, bak
kuda betina yang lepas dari kandangnya Surti memacu seluruh saraf-saraf
pekanya.
Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras pada tepian amben dangau
hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan seluruh batang kontol
Pakde Marto dan datanglah malaikat nikmat merangkum seluruh otot, daging
dan tulang belulang Surti. Cairan birahi Surti muncrat melebihi
derasnya hujan siang itu.
Terus muncrat-muncrat yang diikuti dengan pantatnya yang terus
naik-naik menjemputi kontol Pakde Marto yang juga terus mempercepat
sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara berbarengan
dengan orgasme Surti.
Dan pada saat puncratan cairan vagina Surti mulai surut kontol Pakde
Marto yang masih kencang mengayun vagina Surti tiba-tiba berkedut keras.
Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter air mani yang
kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya merupakan
kedutan pengiring yang menguras habis kandungan sperma dari kantongnya.
Sesaat kemudian bersamaan dengan surutnya hujan mereka berdua Pakde
Marto dan Surti yang istri keponakannya terengah-engah dan rebah. Amben
dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya ada yang lepas terjatuh.
Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan. Keringat mereka
bercucuran rancu dengan air hujan yang membasahi sebelumnya.
Pakde Marto dan Surti telah meraih kepuasan yang sangat dahsyat.
Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun ke pematang kembali.
Surti membetulkan letak kain dan kebayanya. Pakde Marto memakai celana
kolornya yang basah jatuh di pematang dan kembali meraih cangkulnya.
Langit yang cepat cerah kembali nampak biru dengan sisa awan yang
berarak menyingkir.
Pohon kelapa di dusunnya nampak melambai-lambai menanti
kepulangannya. Surti dan Pakde Sastro yakin bahwa Bude maupun Iding
pasti cemas pada mereka yang tertahan hujan ini. Pakde sudah
membayangkan pasti istrinya telah memasak air untuk kopinya lengkap
dengan singkong bakar kesukaannya.
Dan dalam bayangan Surti, Iding pasti telah sangat merindukannya
untuk bercumbu di siang hari. Suara kodok di sawah mengantarkan mereka
pulang ke rumahnya.
TAMAT
Sabtu, 03 Juni 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar