Cerita Sex || Cerita Mesum ||Cerita Dewasa || Foto Cewek Hot
Terbaru || Foto Bugil Terbaru || Foto Mesum Terbaru || dan Seputar
Dewasa Sex Terbaru 2017
Sesaat lamanya aku hanya berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah
mewah berarsitektur gaya Jawa kuno. Hampir separuh bagian rumah di
depanku itu adalah terbuat dari kayu jati tua yang super awet. Di depan
terdapat sebuah pendopo kecil dengan lampu gantung kristalnya yang
antik. Lantai keramik dan halaman yang luas dengan pohon-pohon
perindangnya yang tumbuh subur memayungi seantero lingkungannya.
Aku masih ingat, di samping rumah berlantai dua itu terdapat kolam
ikan Nila yang dicampur dengan ikan Tombro, Greskap, dan Mujair.
Sementara ikan Geramah dipisah, begitu juga ikan Lelenya. Dibelakang
sana masih dapat kucium adanya peternakan ayam kampung dan itik. Tante
Yustina memang seorang arsitek kondang dan kenamaan.
Enam tahun aku tinggal di sini selama sekolah SMU sampai D3-ku,
sebelum akhirnya aku lulus wisuda pada sebuah sekolah pelayaran yang
mengantarku keliling dunia. Kini hampir tujuh tahun aku tidak
menginjakkan kakiku di sini. Sama sekali tidak banyak perubahan pada
rumah Tante Yus. Aku bayangkan pula si Vivi yang dulu masih umur lima
tahun saat kutinggalkan, pasti kini sudah besar, kelas enam SD.
Kulirik jarum jam tanganku, menunjukkan pukul 23:35 tepat. Masih
sesaat tadi kudengar deru lembut taksi yang mengantarku ke desa Kebun
Agung, sleman yang masih asri suasana pedesaannya ini. Suara jangkrik
mengiringi langkah kakiku menuju ke pintu samping. Sejenak aku
mencari-cari dimana dulu Tante Yus meletakkan anak kuncinya. Tanganku
segera meraba-raba ventilasi udara di atas pintu samping tersebut.
Dapat. Aku segera membuka pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Sejenak aku melepas sepatu ket dan kaos kakinya. Hmm, baunya harum
juga. Hanya remang-remang ruangan samping yang ada. Sepi. Aku terus saja
melangkah ke lantai dua, yang merupakan letak
kamar-kamar tidur
keluarga. Aku dalam hati terus-menerus mengagumi figur Tante Yus. Walau
hidup menjada, sebagai single parents, toh dia mampu mengurusi rumah
besar karyanya sendiri ini. Lama sekali kupandangi foto Tante Yus dan
Vivi yang di belakangnya aku berdiri dengan lugunya. Aku hanya
tersenyum.
Kuperhatikan celah di bawah pintu kamar Vivi sudah gelap. Aku terus
melangkah ke kamar sebelahnya. Kamar tidur Tante Yus yang jelas sekali
lampunya masih menyala terang. Rupanya pintunya tidak terkunci. Kubuka
perlahan dan hati-hati. Aku hanya melongo heran. Kamar ini kosong
melompong. Aku hanya mendesah panjang. Mungkin Tante Yus ada di ruang
kerjanya yang ada di sebelah kamarnya ini.
Sebentar aku menaruh tas ransel parasit dan melepas jaket kulitku.
Berikutnya kaos oblong Jogja serta celana jeans biruku. Kuperhatikan
tubuhku yang hitam ini kian berkulit gelap dan hitam saja. Tetapi
untungnya, di tempat kerjaku pada sebuah kapal pesiar itu terdapat
sarana olah raga yang komplit, sehingga aku kian tumbuh kekar dan sehat.
Tidak perduli dengan kulitku yang legam hitam dengan rambut-rambut
bulu yang tumbuh lebat di sekujur kedua lengan tangan dan kakiku serta
dadaku yang membidang sampai ke bawahnya, mengelilingi pusar dan terus
ke bawah tentunya. Air. Ya aku hanya ingin merasakan siraman air shower
dari kamar mandi Tante Yus yang bisa hangat dan dingin itu.
Aku hendak melepas cawat hitamku saat kudengar sapaan yang sangat kukenal itu dari belakangku,
“Andrew..? Kaukah itu..?”
aku dapat melihat belahan buah dadanya yang kuakui memang memiliki
ukuran sangat besar sekali dan sangat kencang, serta kenyal. Aku yakin,
Tante Yus tidak memakai BH, jelas dari bayangan dua bulatan hitam yang
samar-samar terlihat di ujung kedua buah dadanya itu. Rambutnya masih
lebat dipotong sebatang bahunya. Kulit kuning langsat dan bersih sekali
dengan warna cat kukunya yang merah muda.
“Ngg.., selamat malam Tante Yus… maaf, keponakanmu ini datang dan
untuk berlibur di sini tanpa ngebel dulu. Maaf pula, kalau tujuh tahun
lamanya ini tidak pernah datang kemari. Hanya lewat surat, telpon, kartu
pos, e-mail.., sekali lagi, saya minta maaf Tante. Saya sangat
merindukan Tante..!” ucapku sambil kubiarkan Tante Yus mendekatiku
dengan wajah haru dan senangnya.
“Ouh Andrew… ouh..!” bisik Tante Yus sambil menubrukku dan memelukku
erat-erat sambil
membenamkan wajahnya pada dadaku yang membidang kasar
oleh rambut.
Aku sejenak hanya membalas pelukannya dengan kencang pula, sehingga
dapat kurasakan desakan puting-puting dua buah dadanya Tante Yus.
“Kau pikir hanya kamu ya, yang kangen berat sama Tante, hmm..?
Tantemu ini melebihi kangennya
kamu padaku. Ngerti nggak..? Gila kamu
Andrew..!” imbuhnya sambil memandangi wajahku sangat dekat sekali dengan
kedua tangannya yang tetap melingkarkan pada leherku, sambil kemudian
memperhatikan kondisi tubuhku yang hanya bercawat ini.
Tante Yustina tersenyum mesra sekali. Aku hanya menghapus air matanya. Ah Tante Yus…
“Ya, untuk itulah aku minta maaf pada Tante…”
“Tentu saja, kumaafkan..” sahutnya sambil menghela nafasnya tanpa
berkedip tetap memandangiku,
“Kamu tambah gagah dan ganteng Andrew.
Pasti di kapal, banyak crew wanita yang bule itu jatuh cinta padamu.
Siapa pacarmu, hmm..?”
“Belum punya Tan. Aku masih nabung untuk membina rumah tangga dengan
seorang, entah siapa nanti. Untuk itu, aku mau minta Tante bikinkan aku
desain rumah…”
“Bayarannya..?” tanya Tante Yus cepat sambil menyambar mulutku dengan bibir tipis Tante Yus yang merah.
Aku terkejut, tetapi dalam hati senang juga. Bahkan tidak kutolak
Tante Yus untuk memelukku terus menerus seperti ini. Tapi sialnya,
batang kemaluanku mulai merinding geli untuk bangkit berdiri. Padahal di
tempat itu, perut Tante Yus menekanku. Tentu dia dapat merasakan
perubahan kejadiannya.
“Aku… ngg…”
“Ahh, kamu Andrew. Tante sangat kangen padamu, hmm… ouh Andrew… hmm..!” sahut Tante Yus sambil menerkam mulutku dengan bibirnya.
Aku sejenak terkejut dengan serbuan ganas mulut Tante Yus yang kian
binal melumat-lumat mulutku, mendasak-desaknya ke dalam dengan buas.
Sementara jemari kedua tangannya menggerayangi seluruh bagian kulit
tubuhku, terutama pada bagian punggung, dada, dan selangkanganku. Tidak
karuan lagi, aku jadi terangsang. Kini aku berani membalas ciuman buas
Tante Yus. Nampaknya Tante Yus tidak mau mengalah, dia bahkan tambah
liar lagi.
Kini mulut Tante Yus merayap turun ke bawah, menyusuri leherku dan
dadaku. Beberapa cupangan yang meninggalkan warna merah menghiasi pada
leher dan dadaku. Kini dengan liar Tante Yus menarik cawatku ke bawah
setelah jongkok persis di depan selangkanganku yang sedikit terbuka itu.
Tentu saja, batang kemaluanku yang sebenarnya telah meregang berdiri
tegak itu langsung memukul wajahnya yang cantik jelita.
“Ouh, gila benar. Tititmu sangat besar dan kekar, An. Ouh… hmmm..!”
seru bergairah Tante Yus sambil memasukkan batang kejantananku ke dalam
mulutnya, dan mulailah dia mengulum-ngulum, yang seringkali dibarengi
dengan mennyedot kuat dan ganas.
Sementara tangan kanannya mengocok-ngocok batang kejantananku, sedang
jemari tangan kirinya meremas-remas buah kemaluanku. Aku hanya
mengerang-ngerang merasakan sensasi yang nikmat tiada taranya. Bagaimana
tidak, batang kemaluanku secara diam-diam di tempat kerjaku sana,
kulatih sedemikian rupa, sehingga menjadi tumbuh besar dan panjang.
Terakhir kuukur, batang kejantanan ini memiliki panjang 17 sentimeter
dengan garis lingkarnya yang hampir 5 senti. Rambut kemaluan sengaja
kurapikan.
Tante Yus terus menerus masih aktif mengocok-ngocok batang
kemaluanku. Remasan pada buah kemaluanku membuatku merintih-rintih
kesakitan, tetapi nikmat sekali. Bahkan dengan gilanya Tante Yus
kadangkala memukul-mukulkan batang kemaluanku ini ke seluruh permukaan
wajahnya. Aku sendiri langsung tidak mampu menahan lebih lama puncak
gairahku. Dengan memegangi kepala Tante Yus, aku menikam-nikamkan batang
kejantananku pada mulut Tante Yus. Tidak karuan lagi, Tante Yus jadi
tersendak-sendak ingin muntah atau batuk. Air matanya malah telah
menetes, karena batang kejantananku mampu mengocok sampai ke
tenggorokannya.
Pada satu kesempatan, aku berhasil mencopot kemejanya. Aku sangat
terkejut saat melihat ukuran buah dadanya. Luar biasa besarnya. Keringat
benar-benar telah membasahi kedua tubuh kami yang sudah tidak
berpakaian lagi ini. Dengan ganas, kedua tangan Tante Yus kini
mengocok-ngocok batang kemaluanku dengan genggamannya yang sangat erat
sekali. Tetapi karena sudah ada lumuran air ludah Tante Yus, kini jadi
licin dan mempercepat proses ejakulasiku.
“Crooot… cret.. croot… creeet..!” menyemprot air maniku pada mulut Tante Yus.
Saat spremaku muncrat, Tante Yus dengan lahap memasukkan batang
kemaluanku kembali ke dalam mulutnya sambil mengurut-ngurutnya, sehingga
sisa-sisa air maniku keluar semua dan ditelan habis oleh Tante Yus.
“Ouhh… ouh.. auh Tante… ouh..!” gumamku merasakan gairahku yang indah ini dikerjai oleh Tante Yus.
“Hmmm… Andrew… ouh, banyak sekali air maninya. Hmmm.., lezaat sekali.
Lezat. Ouh… hmmm..!” bisik Tante Yus menjilati seluruh bagian batang
kemaluanku dan sisa-sisa air maninya.
Sejenak aku hanya mengolah nafasku, sementara Tante Yus masih mengocok-ngocok dan menjilatinya.
“Ayo, Andrew… kemarilah Sayang.., kemarilah Baby..!” pintanya sambil
berbaring telentang dan membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.
Aku tanpa membuang waktu lagi, terus menyerudukkan mulutku pada celah
vagina Tante Yus yang merekah ingin kuterkam itu. Benar-benat lezat.
Vagina Tante Yus mulai kulumat-lumat tanpa karuan lagi, sedangkan
lidahku menjilat-jilat deras seluruh bagiang liang vaginanya yang dalam.
Berulang kali aku temukan kelentitnya lewat lidahku yang kasar. Rambut
kemaluan Tante Yus memang lebat dan rindang.
Cupangan merah pun kucap pada seluruh bagian daging vagina Tante Yus
yang menggairahkan ini. Tante Yus hanya menggerinjal-gerinjal kegelian
dan sangat senang sekali nampaknya. Kulirik tadi, Tante Yus
terus-menerus melakukan remasan pada buah dadanya sendiri sambil
sesekali memelintir puting-putingnya. Berulang kali mulutnya
mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku menciumi mulut vaginanya
dan menerik-narik daging kelentitnya.
“Ouh Andrew… lakukan sesukamu.. ouh.., lakukan, please..!” pintanya mengerang-erang deras.
Selang sepuluh menit kemuadian, aku kini merayap lembut menuju
perutnya, dan terus merapat di seluruh bagian buah dadanya. Dengan ganas
aku menyedot-nyedot puting payudaranya. Tetapi air susunya sama sekali
tidak keluar, hanya puting-puting itu yang kini mengeras dan memanjang
membengkak total. Di buah dadanya ini pula aku melukiskan cupanganku
banyak sekali. Berulang kali jemariku memilin-milin gemas puting-puting
susu Tante Yus secara bergantian, kiri kanan. Aku kini tidak tahan lagi
untuk menyetubuhi Tanteku. Dengan bergegas, aku membimbing masuk batang
kemaluanku pada liang vaginanya.
“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo… genjot Andrew..!” teriak Tante Yus
saat merasakan batang
kejantananku mulai menikam-nikam liar mulut
vaginanya.
Sambil menopang tubuhku yang berpegangan pada buah dadanya, aku semakin
meningkatkan irama keluar masuk batang kemaluanku pada vagina Tante Yus.
Wanita itu hanya berpegangan pada kedua tanganku yang sambil
meremas-remas kedua buah dadanya.
“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang sangat indah mengiringi dengan alunan lembut.
Selang dua puluh menit puncak klimaks itu kucapai dengan sempurna, “Creeet… croot… creeet..!”
“Ouuuhhhkk.. aooouhkk… aaahhk..,” seru Tante Yus menggelepar-gelepar lunglai.
“Tante… ouhhh..!” gumamku merasakan keletihanku yang sangat terasa di seluruh bagian tubuhku.
Dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap erat pada vagiana Tante Yus, kami jatuh tertidur. Tante Yus berada di atasku.
Karena kelelahanku yang sangat menguasai seluruh jaringan tubuhku,
aku benar-benar mampu tertidur dengan pulas dan tenang. Entah sudah
berapa lama aku tertidur pulas, yang jelas saat kubangun udara dingin
segera menyergapku. Sial. Aku sadar, ini di desa dekat Merapi, tentu
saja dingin. Tidak berapa lama jam dinding berdentang lima sampai enam
kali. Jam enam pagi..!
Dengan agak malas aku beranjak berdiri, tetapi
tidak kulihat Tante Yus ada di kamar ini. Sepi dan kosong. Dimana dia..?
Aku terus mencoba ingin tahu. Dalam keadaan bugil ini, aku melangkah
mendekati meja lampu. Secarik kertas kutemukan dengan tulisan dari
tangan Tante Yustina.
Andrew sayang, Tante kudu buru-buru ke Jakarta pagi ini. Udah
dijemput. Ada pameran di sana. Tolong jaga rumah dan Vivi. Ttd, Yustina.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Gila, setelah menikmati diriku, dia
minggat. Tetapi tidak apa-apa, aku dapat beristirahat total di sini,
ditemani Vivi. Eh, tapi dimana dia..? Aku segera mengambil selembar
handuk putih kecil yang segera kulilitkan pada tubuh bawahku. Tanpa
membuang waktu lagi aku segera menyusuri rumah, dari ruang ke ruang dari
kamar ke kamar. Tetapi sosok bocah SD
itu tidak kelihatan sama sekali.
Aku hampir putus asa, tetapi mendadak aku mendengar suara gemericik air
pancuran dari kamar mandi ruang tamu di depan sana. Vivi. Ya itu pasti
dia. Aku segera memburu.
Kubuka pintu kamar tamu yang luas dan asri ini. Benar. Kulihat pintu
kamar mandinya tidak ditutup, ada bayangan orang di situ yang sedang
mandi sambil bernyanyi melagukan Westlife. Edan, anak SD nyanyinya
begitu. Aku hanya tersenyum saja. Perlahan aku mendekati gawang pintu.
Aku seketika hanya menelan ludahku sendiri. Vivi berdiri membelakangiku
masih asyik bergoyang-goyang sambil menggosok seluruh tubuhnya yang
telanjang bulat itu dengan sabun. Rambut panjangnya tumbuh lurus dan
hitam sebatas pinggang. Berkulit kuning langsat dan nampaknya halus
sekali. Kusadari dia telah tumbuh lebih dewasa.
Air shower masih menyiraminya dengan hangat. Pantatnya sungguh indah
bergerak-gerak penuh gairah. Hanya aku belum lihat buah dadanya. Tanpa
kuduga, Vivi membalikkan badannya. Aku yang melamun, seketika terkejut
bukan main, takut dan khawatir membuatnya kaget lalu marah besar.
Ternyata tidak.
“Mas..? Mas Andrew..?” bertanya Vivi tidak percaya dengan wajah senang bercampur kaget.
Aku hanya menghela nafas lega. Dapat kuperhatikan kini, buah dadanya
Vivi telah tumbuh cukup besar. Puting-putingnya hitam memerah kelam dan
tampak menonjol indah. Kira-kira buah dadanya ya, sekitar seperti tutup
gelas itu. Seperti belum tumbuh, tetapi kok terlihat sudah memiliki
daging menonjolnya. Sedangkan rambut kemaluannya sama sekali belum
tumbuh. Masih bersih licin.
“Hai vivi, apa kabarnya..?” tanyaku mendekat.
Vivi hanya tersenyum, “Masih ingat ketika kita renang bersama di rumahku
dulu..? Kita berdua kan..? Hmm..?” sambungku meraih bahunya.
Air terus menyirami tubuhnya, dan kini juga tubuhku. Vivi mengangguk ingat.
“Ya. Ngg.., bagaimana kalau kita mandi bareng lagi Mas. Vivi kangen… mas andrew.. ouh..!” ujarnya memeluk pinggangku.
Aku mengangkut tubuhnya yang setinggi dadaku ini dengan erat.
“Tentu saja, yuk..!”
Aku menurunkan Vivi.
“Kapan Mas datangnya..?”
“Tadi malam. Vivi lagi tidur ya..?”
“Hm.. Mh..!”
Aku melepas handukku yang kini basah. Saat kulepas handukku, Vivi
tampak kaget melihat rambut kemaluanku yang tumbuh rapih. Segera saja
tangannya menjamah buah kemaluan dan bantang kejantananku.
“Ouh.., Mas sudah punya rambut lebat ya. Vivi belum Mas..,” ujarnya sambil memperhatikan vaginanya yang kecil.
Tentu saja aku jadi geli, batang kemaluanku diraba-raba dan ditimang-timang jemari tangan mungil Vivi yang nakal ini.
“Itu karena Vivi masih kecil. Nanti pasti juga memiliki rambut
kemaluan. Hmm..?” ucapku sambil membelai wajahnya yang manis sekali.
Vivi hanya tersipu. Sialnya, aku kini jadi kian geli saat Vivi menarik-narik batang kejantananku dengan candanya.
“Ihhh.., kenyal sekali… ouh.., seperti belalai ya Mas..!”
Aku jadi terangsang. Gila.
“Belalai ini bisa akan jadi tumbuh besar dan panjang lho. Vivi mau lihat..?”
“Iya Mas.., gimana tuh..?”
“Vivi mesti mengulum, menghisap-hisap dan menyedotnya dengan kuat sekali
batang zakar ini. Gimana..? Enak kok..!” kataku merayu dengan hati yang
berdebar-debar kencang.
Vivi sejenak berpikir, lalu tanpa menoleh ke arahku lagi, dia
memasukkan ujung batang kejantananku ke dalam mulutnya. Wow..! Gadis
kecil ini langsung melakukan perintahku, lebih-lebih aku mengarahkan
juga untuk mengocok-ngocok batang kemaluanku ini, Vivi menurut saja, dia
malah kegirangan senang sekali. Dianggapnya batang ku adalah barang
mainan baginya.
“Iya Mas. Tambah besar sekali dan panjang..!” serunya kembali melumat-lumatkan batang kejantananku dan mengocok keras batangnya.
Sekarang Vivi kuajari lagi untuk meremas buah kemaluanku. Aku
membayangkan semua itu bahwa Tante Yus yang melakukan. Indah sekali
sensasinya. Tetapi nyatanya aku tengah dipompa nafsu seksku dari bocah
cilik ini. Edan, sepupuku lagi. Tetapi apa boleh buat. Aku lagi kebelet
sekali kini. Yang ada hanyalah Vivi yang lugu dan bodoh tetapi
mengasyikan sekali. Batang kejantananku kini benar-benar telah tumbuh
sempurna keras dan panjangnya. Vivi kian senang. Aku kian tidak tahan.
“Teruskan Vi, teruskan… ya.., ya… lebih keras dan kenceng… lakukanlah Sayang..!” perintahku sambil mengerang-erang.
Setelah hampir lima belas menit kemudian, air maniku muncrat tepat di dalam mulut Vivi yang tengah menghisap batang kemaluanku.
“Creeet… crooot.. creet.. cret..!”
“Hup.. mhhhp..!” teriak kaget Vivi mau melepaskan batang kemaluanku.
Tetapi secepat itu pula dia kutahan untuk tetap memasukkan batang kemaluanku di dalam mulutnya.
“Telan semua spermanya Vi. Itu namanya sperma. Enak sekali kok,
bergizi tinggi. Telan semuanya, ya.. yaaa… begitu… terus bersihkan
sisa-sisanya dari batangnya Mas..!” perintahku yang dituruti dengan
sedikit enggan.
Tetapi lama kelamaan Vivi tampak keasyikan mencari-cari sisa air maniku.
“Enak sekali Mas. Tapi kental dan baunya, hmm.., seperti air tajin saat
Mama nanak nasi..! Enak
pokoknya..! Lagi dong Mas, keluarkan
spermanya..!”
Gila. Gila betul. Aku masih mencoba mengatur jalannya nafasku, Vivi minta spermaku lagi..? Edan anak ini.
“Baik, tapi kini Vivi ikuti perintahku ya..! Nanti tambah asyik, tapi sakit. Gimana..?”
“Kalau enak dan asyik, mauh. Nggak papa sakit dikit. Tapi spermanya ada lagi khan..?”
Aku mengangguk. Vivi mulai kubaringkan sambil kubuka kedua belahan
pahanya yang mulus itu untuk melingkari di pinggangku. Vivi
memperhatikan saja. Air dari shower masih mengucuri kami dengan dingin
setelah tadi sempat kuganti ke arah cool.
“Auuuh, aduh.. Mas..!” teriak vivi kaget saat aku memasukkan batang
kejantananku ke dalam liang vaginanya yang jelas-jelas sangat sempit
itu.
Tetapi aku tidak perduli lagi. Kukocok vagina Vivi dengan deras dan
kencang sambil kuremas-remas buah dadanya yang kecil, serta
menarik-narik puting-puting buah dadanya dengan gemas sekali. Vivi
semakin menjerit-jerit kesakitan dan tubuhnya semakin
menggerinjal-gerinjal hebat.
“Sakiiit.. auuuh Mas.., Mas hentikan saja… sakiiit, perih sekali Mas,
periiihhh… ouuuh akkkh… aouuuhkkk..!” menjerit-jerit mulut manisnya itu
yang segera saja kuredam dengan melumat-lumat mulutnya.
“Blesep.. blesep… slebb..!” suara persetubuhkan kami kian indah dengan siraman shower di atas kami.
Aku semakin edan dan garang. Gerakan tubuhku semakin kencang dan
cepat. Dapat kurasakan gesekan batang kemaluanku yang berukuran raksasa
ini mengocok liang vaginan Vivi yang super rapat sempitnya. Dari posisi
ini, aku ganti dengan posisi Vivi yang menungging, aku menyodok
vaginanya dari belakang. Lalu ke posisi dia kupangku, sedangkan aku yang
bergerak
mengguncangkan tubuhnya naik, lalu kuterima dengan menikam ke
atas menyambut vaginanya yang melelehkan darah.
“Tidak Masss… ouh sakit.. uhhk… huuuk… ouhhh… sakiiit..!” tangisnya sejadi-jadinya.
Tetapi aku tidak perduli, sepuluh posisi kucobakan pada tubuh bugil
mungil Vivi. Bahkan Vivi nyaris pingsan. Tetapi disaat gadis itu hendak
pingsan, puncak ejakulasiku datang.
“Creeet… crooot.. sreeet… crreeet..!” muncratnya air mani yang memenuhi liang vaginanya Vivi bercampur dengan darahnya.
Vivi jatuh pingsan. Aku hanya mengatur nafasku saja yang tidak
karuan. Lemas. Vivi pingsan saat aku memasangkan kembali batang
kemaluanku ke posisi dia, kugendong di depan dengan dadanya merapat pada
dadaku. Pelan-pelan kujatuh menggelosor ke bawah dengan batang
kemaluanku yang masih menancap erat di vaginanya.
TAMAT
Jumat, 09 Juni 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar