Cerita Sex || Cerita Mesum ||Cerita Dewasa || Foto Cewek Hot
Terbaru || Foto Bugil Terbaru || Foto Mesum Terbaru || dan Seputar
Dewasa Sex Terbaru 2017
Sampai saat ini, Anis masih belum juga hamil, padahal ia dan mas
Iqbal tidak pernah lelah berusaha. Ah, mungkin memang belum rejekinya.
Anis berusaha menerima dengan ikhlas dan lapang dada. Toh kini sudah ada
Safiq yang menemani hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa
bertindak lebih dari sekedar anak.
Itu dibuktikan Safiq saat mereka berbincang berdua sambil menunggu
mas Iqbal yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa ruang tengah,
di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah Safiq
hingga saat-saat intim mereka berdua yang menjadi semakin sering.
”Kamu nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Anis sambil membelai rambut Safiq yang lagi-lagi tenggelam ke belahan buah dadanya.
Dengan mulut penuh payudara, Safiq berusaha untuk menjawab, ”Ehm… enggak, Mi. Susu umi enak banget!”
”Saat aku kocok gini, enak juga nggak?” tanya Anis yang tangannya mulai menerobos ke dalam lipatan sarung Safiq.
Safiq melenguh pelan saat merasakan jari-jari Anis melingkupi batang
kemaluannya dan mulai mengocok pelan benda coklat panjang itu. ”Hmm,
enak, Mi.” sahutnya jujur.
Anis tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia permainkan batang
penis sang putra angkat hingga Safiq melenguh kencang tak lama kemudian.
Badan kurusnya kejang saat spermanya berhamburan mengotori sarung dan
tangan Anis. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis memperhatikan
tangannya yang belepotan sperma, dan selanjutnya mengelapkan ke sarung
Safiq. Lalu dipeluknya bocah itu penuh rasa sayang.
”Terima kasih, Mi.” gumam Safiq di sela-sela pelukan mereka.
Anis mengecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk pindah ke kamar,
sekarang sudah waktunya untuk tidur. Tapi Safiq tidak langsung
beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Anis sudah berdiri di
hadapannya. Safiq menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan
nada bergetar, bocah itu berucap, ”Safiq sayang Umi,” sambil mulutnya
mendekat untuk mencium kemaluan Anis.
Anis jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat Safiq kaget dan
malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu. Belum
sempat menjawab, tangan Safiq sudah menyusup ke balik dasternya untuk
mengusap paha Anis dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan
CD yang membungkus pantat bulatnya.
Anis sedikit terhentak saat Safiq memegang dan menarik turun kain
mungil) itu. ”Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya, tapi tetap
membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir, mungkin
Safiq hanya akan menciumnya sesaat saja.
Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Safiq cuma mencium pelan,
hanya bagian luar yang dijamah oleh bocah kecil itu. Tapi itu cuma
awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan
dari diri Anis, iapun melakukan yang sebenarnya,
Safiq mengangkat salah satu kaki Anis ke sandaran sofa hingga kini
selangkangan sang ibu angkat terbuka jelas di depan matanya.
Diperhatikannya kemaluan Anis yang basah merona kemerahan untuk sesaat,
sambil tangannya meremas dan mengelus-elus bongkahan pantat Anis dengan
gemas.
”Ehm,” Anis melenguh, tubuh sintalnya mulai bergetar. Ia yang awalnya
ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Anis pasrah saja saat bibir
kemaluannya mulai disentuh oleh Safiq, dari mulai jilatan yang sopan
hingga semakin lama menjadi semakin gencar. Akhirnya Anis malah
merapatkan kemaluannya ke bibir Safiq dan tanpa sadar mulai
menggoyangkan pinggulnya. Aksinya itu membuat Safiq semakin leluasa
menciumi lubang kemaluannya.
”Ough…” Anis merasakan lidah Safiq semakin kuat menari dan menjelajahi seluruh lekuk kemaluannya.
Ia merasakan cairan kewanitaannya semakin deras mengalir seiring
dengan rangsangan Safiq yang semakin kuat. Entah darimana bocah itu
belajar, tapi yang jelas, jilatan dan hisapannya sungguh terasa nikmat.
Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas Iqbal membuat Anis
merintih kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan menikmatinya. Ia
elus-elus kepala Safiq yang terjepit diantara pangkal pahanya, hingga
akhirnya tubuhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.
Safiq yang tidak mengetahui kalau Anis akan mencapai puncak, terus
menghisap kuat-kuat disana. “Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat melenguh
sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari dalam lubang surga yang
tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit
kecut.
Baunya pesing, seperti bau air kencing. Cepat Safiq menarik
kepalanya, tapi tak urung, tetap saja beberapa tetes air mani itu
membasahi mukanya. Diperhatikannya Anis yang saat itu masih merapatkan
kaki dengan tubuh mengejang-ngejang pelan. Selanjutnya, tanpa suara,
istri Iqbal itu jatuh lunglai ke atas sofa, menindih badan kurus Safiq
ke dalam pelukannya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis berusaha untuk mengatur
nafasnya, sementara Safiq dengan polos melingkarkan tangan untuk
mengusap-usap bokong bulat Anis yang masih terbuka lebar.
”D-darimana kamu b-belajar seperti i-itu, Fiq?” tanya Anis saat gemuruh di dadanya sedikit mulai tenang.
Safiq memandangnya,
”Dari Umi,” jawabnya polos.
“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang seperti itu.” sergah Anis sedikit berang.
“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.” sahut Safiq.
“Meminta? Maksud kamu…”
Safiq pun berterus terang. Kemarin ia memergoki kedua orang tua
angkatnya bercinta di ruang tengah, di sofa dimana mereka tengah
berpelukan sekarang. Saat itu Anis meminta agar mas Iqbal mengoral
kemaluannya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang
oleh ajaran agama.
Anis memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti. Safiq yang terus
mengintip jadi menarik kesimpulan; perempuan suka jika kemaluannya
dijilat. Dalam hati Safiq berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas
budi baik Anis yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.
”Kamu sudah salah paham, Fiq,” di luar dugaan, bukannya senang, Anis malah terlihat ketakutan.
”Kenapa, Mi?” tanya Safiq kebingungan.
“Setelah menjilat, kamu pasti akan melakukan hal lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam.
Benar kan?” tuduh Anis.
Safiq terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sempat terbersit
di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat kedua orang
tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja yang
baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Safiq sama
sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak
boleh.
“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Anis, pelan ia menarik tubuhnya dan duduk di sisi Safiq.
Tangan Safiq yang terulur untuk memegangi bongkahan payudaranya,
ditepisnya dengan halus. Safiq jadi terdiam dan menarik diri. Anis
merapikan bajunya kembali.
“M-maaf, Mi.” lirih Safiq dengan muka menunduk, sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.
“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen sama Umi lagi, kamu
sudah besar.” putus Anis
sambil bangkit dan beranjak menuju kamar,
meninggalkan Safiq sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.
Esoknya, Anis menyiapkan sarapan dalam diam. Dia yang biasanya ramah
dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban berat. Mas Iqbal
bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Anis cuma lagi PMS
saja. Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta tetap
cemberut saja, bahkan cenderung keras hati, iapun mulai curiga.
”Ada apa, Nis? Kuperhatikan, kamu berubah akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.”Anis menggeleng,
”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi capek aja.”
”Jangan bekerja terlalu keras. Ingat, kita kan lagi program hamil.” Mas Iqbal mengingatkan.
Anis berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat sang suami
merangkul lalu mengecup bibirnya untuk diajak menunaikan sunnah rasul,
iapun berusaha melayani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dengan begitu
ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.
Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bukannya hilang, hatinya malah
semakin resah. Apalagi saat melihat Safiq yang mulai menjauhinya. Bukan
salah bocah itu juga, Anis juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti
dulu. Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua
orang asing, hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa.
Di sisi lain, Anis juga seperti kehilangan sesuatu. Penis Safiq yang
besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga jilatan dan hisapan
bocah itu di atas gundukan payudaranya, dan yang terutama, kuluman Safiq
di lubang vaginanya yang sanggup mengantar Anis meraih orgasmenya.
Semua itu ia rindukan, meski dalam hati terus berusaha ia bantah.
Tapi tak bisa dipungkiri, pesona Safiq sudah menjerat nafsu birahinya.
Kalau dia yang beriman saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Safiq
yang ingusan? Bocah itu pasti lebih menderita.
Anis mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau, campur aduk antara
ingin menolak dan minta ditiduri oleh Safiq. Ada rasa ingin merasakan,
tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang berkumandang
lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil air
wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa.
Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya
selama ini.
Tapi benarkah seperti itu?
Semuanya berubah saat Anis menerima surat panggilan dari sekolah
keesokan harinya. Safiq memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf, Mi.”
gagap bocah kecil itu.
Tidak menjawab, Anis menerimanya dan membacanya di kamar. Siangnya, bersama Safiq, ia pergi ke sekolah.
”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.” kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.
Anis berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.
”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala sekolah. ”Dulu Safiq
itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas. Tapi sepertinya
sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”
”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Anis berbohong, padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.
”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk mengembalikan semangat
belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik kelas.” pesan ibu
kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.
Anis pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri. Dilihatnya Safiq
yang meringkuk ketakutan di sampingnya. Dipeluknya bocah kecil itu dan
berbisik, ”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…”
Safiq mengangguk. Mereka pun berpisah, Anis kembali ke rumah, sementara Safiq meneruskan pelajarannya.
Sorenya, saat pulang dari sekolah, Safiq mendapati ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat.
”Maafkan Umi, Fiq. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Anis lirih sambil berlinang air mata.
Belum sempat Safiq berkata, Anis sudah menunduk dan melumat bibirnya
dengan lembut. Dicium untuk pertama kali, tentu saja membuat Safiq jadi
gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat bibir Anis terus mendecap dan
menempel di bibirnya, iapun mengimbangi dengan ganti melahap dan
menghisapnya rakus. Dinikmatinya lidah sang bunda yang kini mulai
menjelajah di mulutnya.
”Ehmm… Mi,” Safiq melenguh, sama sekali tak menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.
”Sst…” Anis kembali membungkam bibirnya. ”Diam, Sayang. Umi ingin
menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Anis menarik tangan Safiq dan
ditempelkan ke arah gundukan payudaranya.
”Kamu kangen ini kan?”
tanyanya sambil tersenyum manis.
Dengan polos Safiq mengangguk dan mulai meremas-remas pelan.
Jari-jarinya memijit untuk merasakan tekstur bulatan yang sangat
menggairahkan itu. Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya,
payudara itu terlalu besar. Safiq bisa merasakan kalau Anis tidak
memakai BH, tubuh sintalnya cuma dibalut daster hijau muda yang sangat
tipis sehingga ia bisa menemukan putingnya dengan cepat.
“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Safiq meneruskan
jelajahannya. Ia tarik tali daster Anis ke bawah hingga baju itu turun
ke pinggang, menampakkan buah dada sang bunda yang sungguh besar dan
menggiurkan. Safiq memandanginya sebentar sebelum lehernya maju untuk
mulai mencucup dan menjilatinya, sambil tangannya terus meremas-remas
pelan.
Anis merebahkan diri di sofa, dibiarkannya Safiq menindih tubuhnya
dari atas. Bibir bocah itu terus menelusur di sepanjang bukit
payudaranya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dihisap tanpa
ada yang terlewat. Beberapa kali Safiq membuat cupangan-cupangan yang
membikin Anis merintih kegelian.
Terutama di sekujur putingnya yang mulai kaku dan menegang, baik yang
kiri maupun yang kanan. Safiq menghisap benda mungil kemerahan itu
dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh payudara
Anis ingin dilahap dan ditelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak
mungkin.
“Ehmmm…” merintih keenakan, Anis membimbing salah satu tangan Safiq
untuk turun menjamah
kemaluannya yang sudah sangat basah. Ia sudah
menanti hal ini dari tadi. Sepulang sekolah, Anis berpikir dan merenung,
Safiq jadi malas belajar karena perseteruan mereka tempo hari. Maka,
untuk meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia
lakukan. Anis akan memberikan tubuhnya!
Jangan dikira mudah melakukannya. Anis sudah menimbang dengan matang,
memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang inilah jalan yang
terbaik. Selain bagi Safiq, juga bagi dirinya sendiri. Karena tak bisa
dipungkiri, Anis menginginkannya juga, hari-harinya juga berat
akhir-akhir ini.
Pesona kemaluan Safiq yang besar dan panjang terus mengganggu tidur
malamnya. Mas Iqbal yang selalu setia menemani di atas ranjang, mulai
tidak bisa memuaskannya. Memang penisnya juga besar dan panjang, tapi
entahlah, dengan Safiq ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri.
Sensasi yang membuat gairah dan birahinya berkobar kencang. Sama seperti
sekarang.
Bergetar semua rasa tubuh Anis begitu Safiq mulai memainkan jari di
lubang vaginanya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan sebelum
akhirnya menusukkan jari ke dalam lubangnya yang sempit dan gelap.
”Ough,” Anis merintih nikmat. Di atas, bibir Safiq terus bergantian
menjilati puting kiri dan kanannya sambil sesekali menghisap dan
menggigitnya rakus.
Anis mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Safiq untuk beranjak
ke bawah. Safiq yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera
menurunkan ciumannya. Ia jilati sebentar perut Anis yang masih langsing
dan kencang sebelum mulutnya parkir di kewanitaan perempuan yang sudah
membiayai hidupnya itu.
”Jilat, Fiq!” Anis meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, memamerkan kemaluannya yang sudah becek memerah pada Safiq.
Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lubang indah yang
terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mulutnya turun
saat Anis menarik kepalanya. Safiq menjulurkan lidah dan mulai
menciuminya. Ia lumat bibir tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah
permukaannya.
Bulu kemaluan Anis yang tercukur rapi juga diciuminya dengan senang
hati. Anis merasakan Safiq membuka bibir kemaluannya dengan dua jari.
Dan saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil
itu.
Lidah Safiq bergerak liar, juga cepat dan sangat dalam. Namun yang
membuat Anis tak tahan adalah saat lidah bocah itu masuk diantara kedua
bibir kemaluannya sambil menghisap kuat-kuat kelentitnya. Lama tidak
bertemu, rupanya Safiq jadi tambah lihai sekarang.
Diam-diam Anis bersyukur dalam hati, rupanya ia tidak salah membuat
keputusan. Memang, ia tahu ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi
kalau rasanya senikmat ini, ia sama sekali tidak menyesal telah
melakukannya.
Safiq terus memainkan kemaluan Anis. Mulutnya menghisap begitu rakus
dan kencang, hingga dalam beberapa menit, membuat sang bunda jadi
benar-benar tak tahan. ”Auw… arghh!” Mengejang keenakan, Anis pun
berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi.
Kelentitnya yang sedang dijepit oleh Safiq, berkedut kencang saat
cairannya menyembur deras membasahi lantai ruang tamu.
”Hah, hah,” terengah-engah, Anis meremas pelan rambut Safiq yang duduk berjongkok di lantai.
”Enak, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos, matanya menatap sang
bunda sebelum beralih memandangi selangkangan Anis yang masih
mengucurkan sisa-sisa cairan orgasmenya.
Anis mengangguk, ”Nikmat banget, Sayang.” bisiknya sambil berusaha untuk bangkit.
”Mau kemana, Mi?” tanya Safiq cepat, takut tidak mendapatkan jatahnya.
”Kita pindah ke kamar, disini terlalu berbahaya, nanti dipergoki sama tetangga.” sahut Anis.
Ditariknya tangan sang putra untuk masuk ke dalam rumah. Beriringan mereka menuju kamar.
”Kamarmu,” kata Anis saat melihat Safiq ingin berbelok ke kiri. Safiq
segera memutar langkahnya, kamar mereka memang berseberangan.
Di dalam, tanpa menunggu lama, Safiq segera menelanjangi diri. Begitu
juga dengan Anis. Dengan tubuh sama-sama telanjang, mereka naik ke atas
tempat tidur.
”Kamu pengen nenen?” tanya Anis sambil mendekap kepala Safiq dan lekas ditaruhnya ke atas gundukan payudaranya.
Tanpa menjawab, Safiq segera mencucup dan menciumi dua benda bulat
padat itu. Dihisapnya puting Anis dengan begitu rakus sambil tangannya
bergerak meremas-remas pelan. Di bawah, penisnya yang sudah ngaceng
berat terasa menyundul-nyundul lubang kelamin Anis.
”Fiq, ayo masukkan!” pinta perempuan cantik itu. Ia membuka pahanya
lebar-lebar sehingga terasa ujung penis Safiq mulai memasuki lubangnya.
”Gimana, Mi, didorong gini?” tanya Safiq polos sambil berusaha menusukkan penisnya.
”Yah, begitu… oughhh!” Anis melenguh, penis Safiq terasa membentur
keras, tapi tidak mau masuk.
Dengan pengalamannya, Anis bisa mengetahui
penyebabnya.
Maka dengan cepat ia bangkit berdiri dan meraih penis Safiq, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Ahh, Mi!” Safiq menjerit, sama sekali tak menyangka kalau sang bunda akan berbuat seperti itu.
Dan asyiknya lagi, rasanya ternyata begitu nikmat, lebih nikmat
daripada dikocok pake tangan. Safiq mulai mengerang-erang dibuatnya,
tubuhnya kelojotan, dan saat Anis menghisap semakin kuat, iapun tak
tahan lagi. Penisnya meledak menumpahkan segala isinya yang tertahan
selama ini. Begitu banyak dan kental sekali.
”Ahh,” Anis yang sama sekali tidak menyangka kalau Safiq akan keluar
secepat itu, jadi sangat kaget. Beberapa sperma si bocah sempat tertelan
di mulutnya, sisanya yang sempat ia tampung, lekas ia ludahkan ke
lantai.
“M-maaf, Mi.” kata Safiq dengan muka memerah menahan nikmat, lelehan
sperma tampak masih
menetes dari ujung penisnya yang mengental.
Anis tersenyum penuh pengertian, “Tidak apa-apa. Bukan salahmu, sebulan tidak dikeluarkan pasti bikin kamu nggak tahan.”
Penuh kelegaan, Safiq menyambut sang bunda yang kini berbaring di
sebelahnya.Mereka saling berpelukan dan berciuman. Tapi dasar nafsu
remaja, begitu payudara Anis yang besar menghimpit perutnya, sementara
paha mereka yang terbuka saling bergesekan, dengan cepat penis Safiq
mengencang kembali.
“Eh, udah tegang lagi tuh.” kata Anis gembira sambil menunjuk penis Safiq yang perlahan menggeliat bangun.
“Iya, Mi.” Safiq ikut tersenyum.
Anis mengocoknya sebentar agar benda itu makin cepat kaku dan
menegang. Saat sudah kembali ke ukuran maksimal, ia lekas mempersiapkan
diri. Rasanya sudah tidak sabar lubang vaginanya yang gatal dimasuki
oleh kemaluan muda itu. Anis memejamkan mata saat Safiq mulai mendekap
sambil terus menciumi bibirnya, ia merasakan bibir kemaluannya mulai
tersentuh ujung penis si bocah kecil.
”Tunggu dulu,” Anis menjulurkan tangan, sebentar ia usap-usapkan
ujung penis Safiq ke bibir kemaluannya agar sama-sama basah, barulah
setelah itu ia berbisik,
”Sudah, Fiq, masukkan sekarang!” Anis memberi jalan.
Safiq mulai mendorong. Pelan Anis mulai merasakan bibir kemaluannya
terdesak menyamping. Sungguh luar biasa benda itu. Ohh, Anis benar-benar
merasakan kemaluannya nikmat dan penuh sesak. Safiq terus mendorong,
sementara Anis menahan nafas, menunggu pertautan alat kelamin mereka
tuntas dan selesai sepenuhnya.
”Ahh,” Anis mendesah tertahan saat penis Safiq terus meluncur masuk,
membelah bibir kemaluannya hingga menjadi dua, memenuhi lorongnya yang
sempit hingga ke relungnya yang terdalam, sampai akhirnya mentok di
mulut rahimnya yang memanas.
Mereka terdiam untuk sejenak, saling menikmati rangsangan kemaluan
mereka yang kini sudah bertaut sempurna, begitu erat dan intim. Rasanya
sungguh luar biasa. Safiq bergidik sebentar saat merasakan Anis yang
mengedutkan-ngedutkan dinding rahimnya, memijit batang penisnya dengan
remasan pelan. Safiq membalas dengan kembali mencium bibir dan payudara
sang bunda, sambil tangannya tak henti-henti meremas-remas bulatannya
yang padat menggoda.
Beberapa detik berlalu. Saat Anis sudah merasa cukup, iapun meminta Safiq untuk mulai menggerakkan pinggulnya.
”Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru. Kita nikmati saat-saat ini.
Abi-mu masih lama pulangnya, dia lembur malam ini.” kata Anis.
Mengangguk mengerti, Safiq pun mulai memompa pinggulnya. Gerakannya
begitu halus dan pelan, meski terlihat agak sedikit kaku. Maklum, masih pengalaman pertama.
Tapi itu saja sudah sanggup membuat Safiq merintih keenakan, ia
benar-benar cepat terbawa ke puncak kenikmatan yang belum pernah ia
alami sebelumnya. Nafasnya sudah memburu, terengah-engah. Sementara
tubuhnya mulai bergetar pelan.
Anis yang melihatnya jadi panik. ”Tahan dulu, Fiq. Tahan sebentar!”
bisiknya, ia tidak mau permainan ini berhenti begitu cepat. Ia baru
mulai merasa nikmat.
Tapi apa mau dikata, jepitan kemaluan Anis terlalu nikmat bagi
seorang perjaka seperti Safiq. Diusahakan seperti apapun, bocah itu
sudah tak mampu lagi. Maka hanya dalam waktu singkat, Safiq pun menjerit
dan kembali menumpahkan spermanya. Kali ini di dalam kemaluan Anis.
Cairannya yang kental berhamburan saat Safiq ambruk menindih tubuh bugil
sang bunda dengan nafas ngos-ngosan.
”Ah, Safiq!” meski terlihat kecewa, namun Anis berusaha untuk memakluminya.
Ia belai punggung Safiq dengan lembut. Penis bocah itu yang masih
menancap di lorong vaginanya, masih terasa berkedut-kedut, menguras
segala isinya. Anis merasakan liangnya jadi begitu basah dan penuh.
Mereka terus berpelukan untuk beberapa saat hingga tiba-tiba Anis
menjerit kaget, ”Ah, Fiq!” tubuh montoknya sedikit terlonjak saat
merasakan penis Safiq yang tiba-tiba saja kaku dan menegang kembali.
”Cepet banget!” pujinya gembira. Diciumnya bibir bocah itu sebagai hadiah.
Safiq cuma tersenyum dan kembali memperbaiki posisi. Ia sudah siap
untuk beraksi. Sambil melumat bibir dan leher Anis, ia mulai
menggerakkan pinggulnya.Remasan tangannya di payudara sang bunda juga
kembali gencar, secepat tusukannya yang kini sudah mulai lancar dan
tahan lama.
”Ahhh… terus, Fiq. Yah, begitu!” Anis yang menerimanya, merintih dan menggeliat-geliat tak terkendali.
Tubuh montoknya menggelepar hebat seiring goyangan Safiq yang semakin
kuat. Dengan tusukannya yang tajam, bocah itu membuat vagina Anis
menegang dan berdenyut pelan, benar-benar puncak kenikmatan yang belum
pernah ia alami selama enam tahun pernikahannya dengan mas Iqbal.
Ohh, sungguh luar biasa. Anis jadi tak ingat apa-apa lagi selain
kepuasan dan kenikmatan. Dosa dan neraka sudah lama hilang dari
pikirannya. Hati dan kesadarannya sudah tertutup oleh nafsu birahi.
“Fiq, ooh… oohh… terus… arghhh…” Anis sendiri terkejut oleh
teriakannya yang sangat kuat. Pelan tubuhnya bergetar saat cairan
kenikmatannya menyembur keluar.
Safiq yang juga kesetanan terus memompakan kemaluannya berulang kali,
dan tak lama kemudian ikut menggelepar. Wajahnya yang tampan
menengadah, sementara kedua tangannya mencengkeram dan menekan payudara
Anis kuat-kuat. Di bawah, spermanya yang kental kembali meledak di dalam
vagina sang bunda, memancar berulang kali, hingga membuat rahim Anis
jadi begitu basah dan hangat.
”Oh,” Anis melenguh merasakan banyak sekali cairan kental yang memenuhi liang vaginanya.
Setelah selesai, Safiq memiringkan tubuh sehingga tautan alat kelamin
mereka tertarik dan terlepas dengan sendirinya. Tangannya kembali
meremas lembut payudara Anis sambil bibirnya menciumi wajah wanita yang
sangat dikasihinya ini. Anis senang dengan perlakuan Safiq terhadap
dirinya.
“Fiq, kamu sungguh luar biasa.” puji Anis kepada putra angkatnya.
”Cepet banget tegangnya, padahal barusan keluar.”
Safiq tersenyum, ”Trims, Umi. Safiq senang bisa membuat Umi bahagia.”
”Tapi kamu juga nikmat kan?” goda Anis.
”Tentu saja, Mi.” Safiq mengangguk.
“Mau lagi?” tawar Anis.
”Umi nggak capek?” Safiq bertanya balik.
”Seharusnya umi yang tanya begitu,” sahut Anis, dan mereka tertawa berbarengan.
Sejak saat itu, hubungan mereka pun berubah. Bukan lagi seorang ibu
dan anak, tetapi berganti menjadi sepasang kekasih yang selalu berusaha
untuk memuaskan nafsu masing-masing. Kapanpun dan dimanapun.
Prestasi Safiq kembali meningkat, bahkan lebih dari sebelumnya.
Sementara Anis, mendapat hikmah yang paling besar. Ia kini hamil, sudah
jalan 2 minggu. Sudah jelas itu anak siapa, tapi sepertinya mas Iqbal
tidak curiga.
Malah laki-laki itu kelihatan sangat senang dan gembira, sama sekali
tidak curiga saat Anis kelepasan ngomong, ”Selamat, Fiq, sebentar lagi
kamu akan menjadi seorang ayah,”
Selasa, 06 Juni 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar